Sumber : golrumah.blogspot.com |
Kejadian yang sangat mengagetkan itu membuat pak kades merasa terganggu. Dengan kapasitas yang dimilikinya sebagai seorang kepala desa, dihampirinya pemuda itu dengan wajah yang lembut dan penuh kasih.
Sarasehan malam itu memang membahas tentang perlu tidaknya
peran pemuda dalam keikutsertaan musyawarah desa. Hanya dua pilihan: pemuda
cukup menjadi prajurit yang melaksanakan perintah raja saja, atau dia perlu
dilibatkan sebagai suatu pihak yang memberi sentuhan baru kepada desanya,
sehingga peluang terwujudnya jargon “Bersih, Indah, Nyaman” itu lebih bisa
terwujud sepenuhnya.
Pada beberapa tahun belakangan ini, pemuda desa telah
menyumbang pemikiran-pemikiran yang luar biasa dari hasil pendidikan formal
yang telah ditempuhnya di kota. Berkat mereka, sawah sawah di desa yang
sebelumnya hanyalah ladang padi hijau tak berujung dengan endapan lumpur basah
yang agak penyerap, kini dapat menjadi lahan sawah yang tidak hanya sebagai
tempat menanam sawah, namun menjadi lahan multifungsi yang bernama mina padi.
Dimana ladang yang luas tidak hanya sebagai ladang, namun, sambil menunggu
panen, petani bisa beternak ikan yang ditempatkan di air sawah. Jelas itu
sangat membantu warga. Meningkatkan sumber pendapatan mereka.
Namun, disisi lain, pemuda desa juga sempat membuat situasi
desa agak memanas ketika mereka menolak wejangan para sesepuh desa pada saat sesepuh desa
mengatakan bahwa desa ini akan terkena dampak gunung Bromo yang sedang meletus,
sehingga setidaknya setiap rumah harus membuat satu tumpeng sebagai perantara
untuk menolak bala yang akan menimpa mereka. Para pemuda beranggapan, bahwa jika
nampak tanda-tanda bahwa bencana akan menimpa desa mereka, maka penduduk desa
harus dievakuasi ke tempat yang radius nya cukup aman dari resiko terkena hujan
abu atau banjir lahar.
Karena Pak Kades merasa dirinya adalah Pak Kades, maka dia sebagai
pamong masyarakat haruslah mengadakan semacam sarasehan atau musyawarah
bersama yang kontemplatif agar nanti pada keputusanya tidak terjadi apriori di lingkungan masyarakat desa.
Maka, malam minggu itu, rumah Pak Kades menjadi ajang
melontarkan pendapat oleh semua lapisan masyarakat desa. Mulai dari yang paling
dihormati, ditakuti, disegani, dijadikan pusat pembicaraan, provokator, tukang
buah, sampai Pak Mantri di ujung desa
“Mengapa harus diikutkan? Bukan kah dia juga menjadi robot
di sekolah sekolah formal? Mengapa kita tidak ‘didik’ dia saja di sini untuk
melaksanakan keputusan – keputusan kita? Mereka adalah anak dari gedung –
gedung tinggi!” seorang bapak bersuara lantang berdiri sambil mengacungkan
telunjuknya ke atas. Dengan semangat dia berpendapat. Singkong yang penuh di
mulutnya tidak dihiraukan.
Mendadak riuh rendah suara. Ada yang berpendapat lain, ada
yang menanggapi pembicaraan bapak itu.
“Kau hanya cemburu!” celetuk seorang di sudut sana.
"Ya! Cemburu sosial!" tambah yang lain.
Tidak. Bapak itu benar juga. Dengan mengikuti gaya
pendidikan dan interaksi sosial di sekolah sekolah kota, maka pasti pola
pikirnya tersentuh atau terkontaminasi oleh kota yang identik dengan cepat,
individual, egoistik dan saling bunuh. Sehingga, apabila pola semacam itu
diterapkan di desa yang penuh kalem, dan saling tolong saling bantu, rasanya
seperti ketika Anda memasukan sesendok
sambel di gelas es dawet. Benar, tidak pas.
“Peran pemuda di sini jangan kau samakan dengan kompeni
Belanda yang menembaki penduduk pada zaman kakek nenek kita, pak. Bagi saya
mereka akan tetap megikuti arahan kita sebagai pamong desa ini dengan cara cara
baru mereka yang lebih segar, seperti,
17 Agustus-an di desa kita mungkin tidak hanya diisi dengan dangdutan,
panjat pinang, dan semacam pengajian oleh kiai kita yang sudah mulai pikun saja
itu, sehingga dia hanya mengulang ulang perkataanya saja.” Bela Pak Mantri yang
dulu juga sedikit menempuh pendidikan formal
“Lagipula dengan adanya pemuda kita juga terbantu dalam
penyelesaian masalah di desa, sampai-sampai pekan lalu Pak Bupati datang ke desa
kita untuk menyaksikan mina sawah yang telah berhasil kita kembangkan setahun
lalu.”
“Bukan, bukan masalah itu! Pemuda kita telah kemasukan roh
modernisasi perkotaan yang katanya sangat maju itu! Bahkan, dengan gaya sok
inteleknya, pemuda kita berani melanggar dawuh sesepuh kita! Kualat mereka
semua!” perkataan Dirman menyanggah
pernyataan Pak Mantri
“Ada apa ini ?” tanya
salah satu orang dengan sangat lantang. Langsung saja, suasana mendadak sunyi
senyap. Dari sudut kanan di sebuah ruangan itu, pemuda berwajah merah menggeram
marah. Tangannya mengepal sampai uratnya terlihat dari luar. Tampaknya dia yang
baru saja bertanya dengan suara lantang itu.
“Kalau Anda tidak berharap kehadiran kami di desa ini,
bilanglah! Jangan sembunyi begini! Kalau Anda merasa bahwa kami telah membuat
anda repot dan emosi, maka bilanglah! Jangan diam-diam Anda mau bunuh kami!
Kalau kami tersesat dan salah, bimbinglah kami agar benar dan berkembang!”
Semua gelagapan, tak bisa berkata apa. Keringat mengucur di
dahi mereka. Suasana mendadak dingin. Para peserta pulang, bilang kepada
istrinya, minta dipijiti.
bisa mengirim cerpen disini nggak ya ?
ReplyDeletePost a Comment