Sore ini awan gelap nan tebal terlihat dimana mana, menutupi penuh matahari yang masih bersinar hingga dua puluh menit yang lalu, suara gemuruh saling bersahutan dengan derap langkah kaki para manusia yang berlarian menghindari titik-titik air yang mulai turun perlahan. Di bawah langit gelap nan berisik itu, seorang pemuda berkemeja putih berjalan membawa ransel besar di punggungnya. Dahinya bercucuran keringat padahal suhu di sekitarnya rendah,jalannya tertatih karena menahan berat, napasnya juga terengah-engah menambah miris keadaannya saat ini.
“Hei”sebuah panggilan halus terdengar olehnya, membuat pemuda itu menoleh dan mendapati sosok gadis cantik dengan payung hitam serta senyum manis, yang tentu saja langsung membuat pemuda itu berhenti.
“Mau permen?"tangan seputih salju itu
terulur menyodorkan permen berbungkus putih. Ragu-ragu sang pemuda menerima
permen itu lalu menatap sang gadis bingung.
“Makanlah sebelum hujan” pesan gadis
itu sebelum berbalik dan berjalan menjauh meninggalkan pemuda itu yang masih termenung
menatap permen di tangannya sebelum akhirnya membuka dan memakannya, rasa
caramel yang manis seketika menyebar di mulutnya. Ia kemudian melanjutkan
perjalanannya yang tertunda.
“Lima” terlihat sang gadis tadi yang
melompat menuju bata putih di tanah sembari bibirnya yang melantunkan hitungan.
“Empat”lagi, dirinya melompat
“Tiga”
“Dua”
“Satu”
“BRAAK!!”suara tabrakan besar terdengar di belakang sang gadis yang
kini berhenti melompat dan beralih menatap langit gelap dengan rintik hujan
yang semakin deras.
“Di hari hujan ya”suara berat dan langkah kaki terdengar mendekatinya, tanpa menoleh pun sang gadis tahu siapa pemilik suara itu.
“Itu sudah takdirnya” gadis itu melanjutkan jalannya diikuti sang pria
“Tapi Mella, bukankah mengambil
nyawa orang dengan memberi permen itu sedikit kejam?” pria itu berjalan mendekat
ke bawah payung sang gadis lalu tangannya mengambil alih payung itu, mengingat
tingginya yang lebih dari gadis yang ia sebut Mella itu.
“Mau bagaimana lagi, cara kerjaku
gitu”balas Mella cuek
“Terus kapan kau akan memberiku
permenmu itu?”
“Ini sudah ketujuh kalinya kau
bertanya seperti itu Fahri”jawab Mella jengkel
“Aku hanya bercanda, kau terlalu
sentimen”pipi Mella langsung melar saat Fahri menariknya gemas dan satu
sentilan diterima Fahri sebagai gantinya membuat sang empu mengaduh,
selanjutnya mereka kembali berjalan dengan diselingi obrolan ringan, tampak
seperti sepasang kekasih ‘kan?Sayang
sekali Tuhan tidak menghendaki demikian.
“Kau akan kemana setelah ini?”tanya
Fahri lirih tanpa menatap Mella, ia menatap lurus ke depan berusaha tak
menimbulkan kecurigaan dari orang-orang di sekitarnya.
“Rumah sakit lalu gedung A”Mella
mengulurkan tangannya memperlihatkan tiga permen berbungkus putih yang tentunya
sama dengan permen yang ia berikan pada pemuda di awal tadi.
“Gedung A?Ada yang bunuh
diri?” tanya Fahri lagi
“Tidak, tapi overwork” Mella menyimpan kembali permen-permen tadi di sakunya.
“Kukira hanya Jepang yang ada kasus
seperti itu” balas Fahri lirih
“Dunia ini luas, ada banyak kasus kematian
yang penyebabnya hal sepele seperti terbentur, tersedak, bahkan tersandung. Manusia
itu lemah, kematian selalu berada di belakang mereka. Tapi, mereka malah
menyia-yiakan hidupnya, membuatku kesal saja” celoteh Mella mengundang senyum
tipis pada wajah Fahri
“Apa kau punya klien yang paling
berkesan bagimu?” tanya Fahri yang kini berjalan menuju warung gorengan diikuti
Mella.
“Tidak, malaikat maut sepertiku
akan memilih langsung mengambil nyawa seseorang daripada harus berinteraksi
dengannya terlebih dahulu” jawab Mella sembari menatap Fahri yang memilih
gorengan di depannya.
“Tapi sekarang kau berinteraksi
denganku, bukankah nanti kau akan mengambil nyawaku juga?”Fahri kini kembali
berjalan dengan seplastik gorengan panas di tangannya.
“Aku tidak mau mengambil nyawa
orang bodoh sepertimu”ucap Mella sarkas mengundang senyum kecut pada wajah
Fahri. ”Aku sudah sampai, kau pulang saja sendiri” Mella pergi begitu saja, ah
tidak ia menghilang begitu saja seperti debu yang tertiup angin.
“Malaikat maut selalu sibuk
ya”guman Fahri sebelum melanjutkan perjalanannya pulang ditemani hujan yang tak
kunjung reda.
Seminggu berjalan dan selama itu
pula Fahri belum bertemu dengan Mella, ini bukanlah pertama kalinya mereka tak
bertemu lama karena sebagai malaikat maut tentunya Mella harus pergi ke
berbagai tempat di dunia untuk melaksanakan tugasnya. Tapi entah kenapa kali ini
Fahri merasa sedikit rindu pada gadis mungil itu.
“Oh, Fahri kemari sebentar
nak”suara lemah mengacaukan lamunan Fahri yang saat ini tengah berjalan
pulang.Kakek Wahyu, tetangganya yang sudah tua dan tinggal sendiri
memanggilnya.
“Ya, Kek?”Fahri datang dan duduk di
sebelah Kakek Wahyu setelah menerima isyarat untuk duduk.
“Mau temani Kakek mengobrol?”tawar
Kakek Wahyu
“Oh, ma-“ucapan Fahri terhenti saat
matanya menangkap bungkus putih familiar di meja teras. Ia menatap sekeliling
dan matanya semakin melebar saat mendapati gadis mungil duduk di batang pohon
depan rumah Kakek Wahyu, bersama payung hitamnya dan ekspresi kosongnya itu.
“Mau, Kek”balas Fahri yang
ditanggapi senyum hangat oleh Kakek Wahyu. Pembicaraan mereka berlanjut dengan
Fahri yang diam diam menghubungi keluarganya bahwa ia tak bisa ikut perayaan
ulang tahun adiknya hari ini.
Suara Kakek Wahyu perlahan semakin
melemah di tengah ceritanya, diiringi napasnya yang semakin memberat. Segera
Fahri menawarkan diri untuk mengantarkannya menuju tempat tidur, dan tak butuh
waktu lama untuk Kakek Wahyu terlelap sesaat setelah menyentuh empuknya
bantal. Fahri tetap di sana, menatap tubuh Kakek Wahyu yang mendengkur pelan
hingga dengkuran itu hilang dan menyisakan raganya yang perlahan
mendingin. Fahri menunduk, berdoa untuk jiwa Kakek Wahyu sebelum menelpon
keluarganya untuk segera kemari.
“Lama tak bertemu Fahri”suara
lembut menyapa telinganya.Fahri tak membalas dan tetap diam termantung di
tempatnya. Ini adalah pertama kalinya ia melihat bagaimana manusia melepas
bebaskan jiwanya.
“Kau tak mau memelukku?Kita sudah
seminggu berpisah”canda Mella
“Kita pernah berpisah lebih lama
dari itu, kau tahu”balas Fahri sarkas
“Kau benar” selanjutnya hening,
keduanya sama sama bungkam, tak berani memulai pembicaraan.Sampai pertanyaan
lirih dari Fahri membuat mata Mella menatap Fahri lekat-lekat, “Hei, bagaimana
kalau permenmu dimakan bukan oleh klienmu tapi oleh manusia lain? Yang belum
ditakdirkan mati”
Mella terdiam sejenak sebelum
membuka bibirnya, “Permenku hanya dapat dilihat dan dinikmati oleh manusia yang
sudah ditakdirkan, jadi manusia lain tak akan bisa melihat apalagi memakannya”
“Bagaimana dengan diriku? Aku bisa
melihat permen itu walau aku belum ditakdirkan mati saat itu?Apa aku akan mati
saat itu juga jika memakannya?”tanya Fahri lagi, kini dengan napas yang memburu
“Kau memang bisa melihat
bungkusnya, tapi kau belum pernah melihat apalagi menyentuh isinya kan?”Ucapan
Mella kini membuat Fahri semakin paham, takdir kematian benar-benar tak bisa
diubah bahkan olehnya yang tahu kapan kematian itu akan datang. Fakta itu
seharusnya sudah ia ketahui sejak lama namun melihat bukti nyata yang
terpampang di depan matanya kini, benar-benar membuatnya berharap ini semua
hanyalah mimpi.
Mereka kembali diam sampai keluarga
Fahri tiba dan langsung meruntuti Fahri dengan berbagai pertanyaan, sedangkan adiknya
kini sudah dibanjiri air mata. Tentu saja, tepat di hari ulang-tahunnya
seseorang yang sering menyapa dan memberinya mainan bahkan ia anggap kakek
sendiri meninggal dunia.
“Aku akan pergi lama, jangan rindu”ucapan
Mella dari pojok ruangan membuat Fahri spontas menoleh dan mendapati Mella yang
sudah hilang dari sana. Matanya semakin berair namun bibirnya membentuk senyuman
tipis.
“Ya. Selamat tinggal,
Caramella”guman Fahri lirih, dan begitulah perpisahan paling lama mereka. Fahri
yang terus menjalani hidupnya dan Mella yang terus menjalankan tugasnya. Dari
awal mereka memang tidak seharusnya bertemu.
“Kakekkk~”suara riang menggema di
rumah sederhana ini. Gadis kecil berlari menuju kakeknya yang tengah membaca
buku, lalu melompat ke pangkuannya. Beruntung kakeknya masih cukup tangkas untuk
menangkapnya.
“Ada apa Talita?”suara beratnya
dulu kini telah hilang digantikan suara lemah nan serak itu.
“Aku tadi ketemu kakak cantik di
taman belakang”celoteh Talita riang
“Ohya, apa dia benar-benar cantik?”tanya
kakeknya
“Sangat cantik, tapi dia bawa
payung padahal tidak hujan. Pas Talita tanya katanya dia alergi matahari.Emang benar
kek?”jelas Talita bersemangat, kakeknya diam sejenak sebelum mengelus rambut
hitam cucunya.
“Ya, itu benar.Sekarang apa Talita
bisa turun? Kakek sudah tidak kuat” balas kakeknya
“Eh maaf, Kek.Apa sakit?Apa Kakek
mau ke kamar?Ayo Talita antar”sang gadis kecil langsung melompat dan memeriksa
kakeknya penuh khawatir.
“Gapapa, Kakek mau pergi keluar
sebentar, tapi Talita jangan bilang ke mama ya?”pinta sang kakek
“Tapi mama bilang kakek masih sakit
trus ga boleh keluar”balas Talita polos.
“Sebentar kok, Kakek janji bakal
pulang cepat, oke?”sang kakek bangkit berdiri dengan bantuan tongkatnya dan
menepuk puncak kepala sang cucu sebelum berjalan keluar, sedang sang cucu
menatapnya penuh khawatir.
“Kupikir kau tidak mau mengambil
nyawa manusia bodoh” dikeluarkannya suara lemah miliknya begitu menangkap payung
hitam familiar dalam penglihatannya.
Sosok mungil itu masih tetap sama,
tak berubah, caranya memegang payungnya pun belum berubah padahal lima puluh
tahun lebih telah berlalu.“Yah mau bagaimana lagi, tidak ada yang mau mengambil
tugas menyebalkan ini. Jadi sebagai malaikat yang baik hati tentu saja aku
menggantikan mereka mengambil tugas ini”suaranya yang menyebalkan pun masih
tetap sama.
“Kau benar benar tak menua ya. Aku jadi iri padamu”celetuk sang kakek lemah yang ditanggapi senyuman manis oleh Mella.
“Makanlah sebelum matahari
terbenam”satu permen berbungkus putih telah berada di telapak tangan kakek tua
ini. Ditatapnya permen itu lekat sebelum terkekeh pelan, “Akhirnya aku mendapatkan permen ini juga”
“Ya. Dan sekarang nikmatilah ”sahut
Mella lirih.
Post a Comment